27 years, and 2 months aku sudah hidup di dunia ini. Aku dilahirkan dari perut si Mami, disusui sampai dengan sekarang sudah siap memproduksi bayi yang bisa disusui (hehehe...).
People say that manusia itu memiliki free will, keinginan bebas untuk menentukan, termasuk arah hidupnya, termasuk pilihan karir, pasangan, bahkan sampai dengan hal kecil seperti hari ini ingin memakai baju apa. Selama 27 tahun dan 2 bulan dalam hidup ini, pastinya aku selalu menghargai free will setiap manusia, walaupun di tengah segala keterbatasan, segala judgement, segala praduga dan segala pemikiran sosial lainnya. Di tengah fundamental manusia sebagai makhluk yang (katanya) tidak bisa hidup sendiri, apakah free will itu masih berlaku secara bebas? Ataukah memang dikotomi dan deskripsi free will itu sendiri yang sebetulnya tidak seluas dan se-ekstrim yang kita bayangkan?
Beberapa minggu lalu aku mengobrol dengan temanku, seorang perempuan yang kukenal semenjak SMP. Orangnya cukup outspoken dan cukup liberal. Saat ini dia sedang mengalami pergelutan dalam keluarganya, dimana ia merasa tidak cocok dengan cara mendidik orang tuanya yang mengakibatkan dia banyak 'protes'. Salah satu statement-nya yang ekstrim dan pernah dilontarkan kepada aku adalah,
'Gue pengen hidup sendiri, sebel diatur sana-sini ama nyokap gue!'
Hidup sendiri, sebuah pilihan unik yang sebetulnya sejalan dengan free will yang dimiliki manusia. Hidup sendiri tanpa praduga, tanpa judgement dan tanpa arahan dari satu manusiapun. Kita bisa memilih kita mau pakai baju/tidak hari ini, kita bisa memilih apakah kita mau teriak-teriak seperti orang gila, bahkan kita bisa memilih apakah kita mau hidup atau tidak.
Sosialitas manusia, keinginannya untuk diterima, keinginannya untuk conform dan mengikuti kelompok (bahkan teman saya dulu yang sering berkata 'Gue orangnya non conform! Gue tidak mau menjadi standar seperti orang lain, gue mau beda!' aku yakin bahwa dibalik pernyataan yang idealis itupun dia mencari kelompok non conform sebagai pendukungnya.), keinginannya untuk bisa berkomunikasi dan bahkan hidup dengan orang lain, terkadang hal itu tidak sejalan, dan tanpa disadari, kita kebanyakan hidup ditengah moral dan standar yang sudah diciptakan masyarakat (dan kita sendiri), dan tidak ada nilai absolut seperti apa standar hidup itu, bisa berubah dalam hitungan singkat.
Sepanjang hidupku, aku mengalami 2 periode klimaks dimana aku merasa lelah sangat dengan standar hidup yang secara tidak langsung dituntut dengan masyarakat. Aku sadar bahwa hampir setiap manusia menanyakan pertanyaan-pertanyaan standar, yang secara tidak langsung membuat manusia yang tidak bisa menjawab pertanyaan standar itu dengan jawaban standar menjadi tidak nyaman dan merasa diluar kelompok. Berdasarkan 2 periode klimaks (yang akan aku ceritakan nanti) berikut pertanyaan-pertanyaan standar yang memaksa kita untuk hidup mengikuti keinginan manusia lainnya :
1. Sudah bisa apa saja?
Biasanya ditanyakan pada Ibu seorang anak yang baru melahirkan kurang lebih beberapa bulan. Ini ditanyakan untuk mengkonfirmasi anaknya sekarang sudah memiliki ketrampilan apa saja (yang sebetulnya amat standar : bisa berjalan, bisa ngomong 'mama, papa', bisa lompat, dll).
2. Sekolahnya kelas berapa?
Ini biasanya ditujukan untuk anak kecil seusia TK atau SD. Seperti basa-basi karena mungkin agak bingung mau ngobrol apa dengan bocah kecil. Biasanya kalau sudah dijawab oleh si anak, si penanya akan merespon dengan 'Wah pintar ya!'
3. Mana calonnya?
Kalau ini ditujukan untuk seorang remaja yang sudah mulai akil balig dan bergaya agak canggung-canggung sedikit dan biasanya diajukan di acara-acara kumpul keluarga oleh 'senior-senior' yang lebih tua daripada remaja tersebut. Karena konotasinya remaja itu adalah masa-masa mulai percintaan, oleh karena itu pertanyaan ini juga sering diajukan untuk agak menggoda, dan secara tidak langsung memotivasi si remaja juga untuk segera membawa 'calon' untuk dipamerkan di acara keluarga tersebut. Pertanyaan ini akan terus berlanjut dan tidak akan pernah berhenti sampai dengan ada konfirmasi si objek menggandeng seorang cewek/cowok di acara keluarga.
4. Kapan kawin?
Ini pertanyaan lanjutan kalau pertanyaan nomor 3 sudah berhasil dipatahkan. Pertanyaan ini juga yang memotivasi objek untuk segera mendiskusikan tanggal perkawinan dengan pasangan. Atau malah bisa jadi pertanyaan untuk memikirkan kembali, 'apakah betul saya mau kawin dengan orang ini?' Pertanyaan ini baru bisa dipatahkan kalau konfirmasi undangan perkawinan sudah disebar. Hati-hati, pertanyaan akan santer bergema kalau kebetulan kakak kita kawin duluan, dan kita berperan sebagai seksi repot juga di acara perkawinan sang kakak. Variasi pertanyaan yang muncul 'Kapan nyusul?'
5. Sudah sampai mana persiapannya?
Kalau sudah secara informil kita jawab pertanyaan nomor 4 dengan 'rencana sih tanggal.......', hampir dipastikan pertanyaan selanjutnya adalah poin nomor 5. Jawabannya juga sebetulnya standar saja dengan 'sudah sewa gedung, sudah pilih katering, sudah pilih gaun.'. Pertanyaan ini juga menyatakan secara tidak langsung kalau kawin tamasya itu tidak umum di kalangan masyarakat. Persiapan yang dimaksud adalah yang sesuai trend kebanyakan : foto prewed, pilih gaun di bridal, resepsi di ballroom, pemberkatan pernikahan sesuai agama masing-masing, dan seringkali penggunaan WO (wedding organizer) juga jadi satu patokan standar.
6. Udah isi belum?
Pertanyaan ini muncul di peringkat 1 dalam daftar pertanyaan terbanyak aku saat ini. Yah maklum deh karena aku sudah menikah 1 tahun 3 bulan tapi sampai sekarang (memutuskan) belum hamil. Untuk sebagian orang keputusan kami mungkin agak aneh, tapi ini contoh free will yang aku coba buat dan tentu saja menurut kami memiliki anak itu bukan keputusan yang hanya bisa ditentukan oleh 'tekanan' pertanyaan sekitar. Namun lebih dari mentalitas dan hati kami pribadi. Untuk beberapa temanku yang sudah menikah dan juga belum punya anak, namun bedanya mereka sebetulnya sangat-sangat kepingin namun tidak bisa karena belum 'dikasih', pertanyaan ini memiliki tekanan 2 kali lipat yang sangat besarnya karena mereka sendiri juga jika bingung kenapa belum isi juga sampai dengan sekarang.
7. Kapan nambah adenya?
Jiaaahhh, jumlah anak berapapun tidak akan cukup. Baru saja brojol anak pertama, masih megap-megap dan ngilu-ngilu karena jahitan masih sakit, terkadang pertanyaan ini keluar dari mulut penjenguk.
8. Kerja dimana?
Ini pertanyaan kedua yang menempati top ranking pertanyaan aku sekarang :) Kenapa? Karena aku baru saja resign dari perusahaan IT terakhir tempatku bekerja dengan jabatan terakhir HR Manager. Sekarang aku sedang menikmati kehidupan menjadi freelance yang tidak dikejar-kejar waktu seperti orang gila seperti di tempat kerja sebelumnya. Aku baru menyadari bahwa banyak sekali value yang aku abaikan selama ini karena selalu tenggelam dalam kesibukan dan multitasking yang bervariasi. Jadi banyak sekali teman-teman dari ex perusahaan sebelumnya yang bertanya hal ini, dan aku jawab apa adanya 'Freelance'. Biasanya akan dilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, 'Ooh, freelance apa ya?', as if freelance itu barang aneh dan bekerja 9 to 5 is a standard that is very acceptable and common in society.
Selama aku hidup dalam detik ini, tanpa disadari bahwa aku pun hidup dalam garis lurus yang sudah ditentukan oleh pertanyaan-pertanyaan berikut. Sebetulnya free will masih bisa kita terapkan dengan sempurna, ambil contoh ekstrim yang kualami adalah pada pertanyaan 'udah isi belum'. Dalam hal ini aku dan suami betul-betul merasa bahwa keputusan dan keinginan kamilah yang terpenting. Namun yang cukup melelahkan adalah menjawab beribu-ribu pertanyaan yang menghujani.
Opsi free will masih sangat terbuka lebar, kita bisa memiliki keinginan bebas sesuai dengan hati kita. Pada dasarnya manusia hanya hidup diantara 2 pilihan, mengambil opsi free will dengan konsekuensi kenyang dihujani pertanyaan 'standar' dan tatapan aneh like we're some kind of weirdo yang sangat nyeleneh, atau hidup tenang dan damai dengan mengikuti 'keinginan' semua orang yag direfleksikan lewat pertanyaan-pertanyaan tersebut, bahagia atau tidak itu kembali ke dalam hati Anda.
Aku sebagai manusia standar juga tidak menyangkal seringkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pemahaman mendalam lewat pengalaman yang melelahkanlah yang pada akhirnya sekarang membuat aku mencoba berubah, karena bukan tidak mungkin pertanyaan-pertanyaan itu tidak mengenakkan dan membosankan didengar oleh orang lain.
After all, terima kasih untuk semua penanya-penanya -ku. Dibalik segala kelelahanku menjawab semua pertanyaan-pertanyaan kalian, aku tahu pasti kalian sungguh sangat perhatian kepadaku :)
(catatan : 2 periode klimaks yang membuatku sangat lelah adalah ketika pertanyaan default 'kuliah dimana' bertubi-tubi ditanyakan disaat aku nganggur 1 tahun, dan 'kerja dimana' bertubi-tubi ditanyakan saat aku freelance seperti sekarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar