Looking from the 'Kepo' eyes

Looking from the 'Kepo' eyes
the model is not me, i'm just the photographer of the photographer :)

Senin, 26 April 2010

We live to respond the standard questions from others



27 years, and 2 months aku sudah hidup di dunia ini. Aku dilahirkan dari perut si Mami, disusui sampai dengan sekarang sudah siap memproduksi bayi yang bisa disusui (hehehe...).

People say that manusia itu memiliki free will, keinginan bebas untuk menentukan, termasuk arah hidupnya, termasuk pilihan karir, pasangan, bahkan sampai dengan hal kecil seperti hari ini ingin memakai baju apa. Selama 27 tahun dan 2 bulan dalam hidup ini, pastinya aku selalu menghargai free will setiap manusia, walaupun di tengah segala keterbatasan, segala judgement, segala praduga dan segala pemikiran sosial lainnya. Di tengah fundamental manusia sebagai makhluk yang (katanya) tidak bisa hidup sendiri, apakah free will itu masih berlaku secara bebas? Ataukah memang dikotomi dan deskripsi free will itu sendiri yang sebetulnya tidak seluas dan se-ekstrim yang kita bayangkan?

Beberapa minggu lalu aku mengobrol dengan temanku, seorang perempuan yang kukenal semenjak SMP. Orangnya cukup outspoken dan cukup liberal. Saat ini dia sedang mengalami pergelutan dalam keluarganya, dimana ia merasa tidak cocok dengan cara mendidik orang tuanya yang mengakibatkan dia banyak 'protes'. Salah satu statement-nya yang ekstrim dan pernah dilontarkan kepada aku adalah,

'Gue pengen hidup sendiri, sebel diatur sana-sini ama nyokap gue!'

Hidup sendiri, sebuah pilihan unik yang sebetulnya sejalan dengan free will yang dimiliki manusia. Hidup sendiri tanpa praduga, tanpa judgement dan tanpa arahan dari satu manusiapun. Kita bisa memilih kita mau pakai baju/tidak hari ini, kita bisa memilih apakah kita mau teriak-teriak seperti orang gila, bahkan kita bisa memilih apakah kita mau hidup atau tidak.

Sosialitas manusia, keinginannya untuk diterima, keinginannya untuk conform dan mengikuti kelompok (bahkan teman saya dulu yang sering berkata 'Gue orangnya non conform! Gue tidak mau menjadi standar seperti orang lain, gue mau beda!' aku yakin bahwa dibalik pernyataan yang idealis itupun dia mencari kelompok non conform sebagai pendukungnya.), keinginannya untuk bisa berkomunikasi dan bahkan hidup dengan orang lain, terkadang hal itu tidak sejalan, dan tanpa disadari, kita kebanyakan hidup ditengah moral dan standar yang sudah diciptakan masyarakat (dan kita sendiri), dan tidak ada nilai absolut seperti apa standar hidup itu, bisa berubah dalam hitungan singkat.

Keinginan untuk diterima kelompok sebagai kebutuhan dasar manusia

Sepanjang hidupku, aku mengalami 2 periode klimaks dimana aku merasa lelah sangat dengan standar hidup yang secara tidak langsung dituntut dengan masyarakat. Aku sadar bahwa hampir setiap manusia menanyakan pertanyaan-pertanyaan standar, yang secara tidak langsung membuat manusia yang tidak bisa menjawab pertanyaan standar itu dengan jawaban standar menjadi tidak nyaman dan merasa diluar kelompok. Berdasarkan 2 periode klimaks (yang akan aku ceritakan nanti) berikut pertanyaan-pertanyaan standar yang memaksa kita untuk hidup mengikuti keinginan manusia lainnya :

1. Sudah bisa apa saja?
Biasanya ditanyakan pada Ibu seorang anak yang baru melahirkan kurang lebih beberapa bulan. Ini ditanyakan untuk mengkonfirmasi anaknya sekarang sudah memiliki ketrampilan apa saja (yang sebetulnya amat standar : bisa berjalan, bisa ngomong 'mama, papa', bisa lompat, dll).

2. Sekolahnya kelas berapa?
Ini biasanya ditujukan untuk anak kecil seusia TK atau SD. Seperti basa-basi karena mungkin agak bingung mau ngobrol apa dengan bocah kecil. Biasanya kalau sudah dijawab oleh si anak, si penanya akan merespon dengan 'Wah pintar ya!'

3. Mana calonnya?
Kalau ini ditujukan untuk seorang remaja yang sudah mulai akil balig dan bergaya agak canggung-canggung sedikit dan biasanya diajukan di acara-acara kumpul keluarga oleh 'senior-senior' yang lebih tua daripada remaja tersebut. Karena konotasinya remaja itu adalah masa-masa mulai percintaan, oleh karena itu pertanyaan ini juga sering diajukan untuk agak menggoda, dan secara tidak langsung memotivasi si remaja juga untuk segera membawa 'calon' untuk dipamerkan di acara keluarga tersebut. Pertanyaan ini akan terus berlanjut dan tidak akan pernah berhenti sampai dengan ada konfirmasi si objek menggandeng seorang cewek/cowok di acara keluarga.

4. Kapan kawin?
Ini pertanyaan lanjutan kalau pertanyaan nomor 3 sudah berhasil dipatahkan. Pertanyaan ini juga yang memotivasi objek untuk segera mendiskusikan tanggal perkawinan dengan pasangan. Atau malah bisa jadi pertanyaan untuk memikirkan kembali, 'apakah betul saya mau kawin dengan orang ini?' Pertanyaan ini baru bisa dipatahkan kalau konfirmasi undangan perkawinan sudah disebar. Hati-hati, pertanyaan akan santer bergema kalau kebetulan kakak kita kawin duluan, dan kita berperan sebagai seksi repot juga di acara perkawinan sang kakak. Variasi pertanyaan yang muncul 'Kapan nyusul?'

5. Sudah sampai mana persiapannya?
Kalau sudah secara informil kita jawab pertanyaan nomor 4 dengan 'rencana sih tanggal.......', hampir dipastikan pertanyaan selanjutnya adalah poin nomor 5. Jawabannya juga sebetulnya standar saja dengan 'sudah sewa gedung, sudah pilih katering, sudah pilih gaun.'. Pertanyaan ini juga menyatakan secara tidak langsung kalau kawin tamasya itu tidak umum di kalangan masyarakat. Persiapan yang dimaksud adalah yang sesuai trend kebanyakan : foto prewed, pilih gaun di bridal, resepsi di ballroom, pemberkatan pernikahan sesuai agama masing-masing, dan seringkali penggunaan WO (wedding organizer) juga jadi satu patokan standar.

6. Udah isi belum?
Pertanyaan ini muncul di peringkat 1 dalam daftar pertanyaan terbanyak aku saat ini. Yah maklum deh karena aku sudah menikah 1 tahun 3 bulan tapi sampai sekarang (memutuskan) belum hamil. Untuk sebagian orang keputusan kami mungkin agak aneh, tapi ini contoh free will yang aku coba buat dan tentu saja menurut kami memiliki anak itu bukan keputusan yang hanya bisa ditentukan oleh 'tekanan' pertanyaan sekitar. Namun lebih dari mentalitas dan hati kami pribadi. Untuk beberapa temanku yang sudah menikah dan juga belum punya anak, namun bedanya mereka sebetulnya sangat-sangat kepingin namun tidak bisa karena belum 'dikasih', pertanyaan ini memiliki tekanan 2 kali lipat yang sangat besarnya karena mereka sendiri juga jika bingung kenapa belum isi juga sampai dengan sekarang.

7. Kapan nambah adenya?
Jiaaahhh, jumlah anak berapapun tidak akan cukup. Baru saja brojol anak pertama, masih megap-megap dan ngilu-ngilu karena jahitan masih sakit, terkadang pertanyaan ini keluar dari mulut penjenguk.

8. Kerja dimana?
Ini pertanyaan kedua yang menempati top ranking pertanyaan aku sekarang :) Kenapa? Karena aku baru saja resign dari perusahaan IT terakhir tempatku bekerja dengan jabatan terakhir HR Manager. Sekarang aku sedang menikmati kehidupan menjadi freelance yang tidak dikejar-kejar waktu seperti orang gila seperti di tempat kerja sebelumnya. Aku baru menyadari bahwa banyak sekali value yang aku abaikan selama ini karena selalu tenggelam dalam kesibukan dan multitasking yang bervariasi. Jadi banyak sekali teman-teman dari ex perusahaan sebelumnya yang bertanya hal ini, dan aku jawab apa adanya 'Freelance'. Biasanya akan dilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, 'Ooh, freelance apa ya?', as if freelance itu barang aneh dan bekerja 9 to 5 is a standard that is very acceptable and common in society.

Selama aku hidup dalam detik ini, tanpa disadari bahwa aku pun hidup dalam garis lurus yang sudah ditentukan oleh pertanyaan-pertanyaan berikut. Sebetulnya free will masih bisa kita terapkan dengan sempurna, ambil contoh ekstrim yang kualami adalah pada pertanyaan 'udah isi belum'. Dalam hal ini aku dan suami betul-betul merasa bahwa keputusan dan keinginan kamilah yang terpenting. Namun yang cukup melelahkan adalah menjawab beribu-ribu pertanyaan yang menghujani.

Opsi free will masih sangat terbuka lebar, kita bisa memiliki keinginan bebas sesuai dengan hati kita. Pada dasarnya manusia hanya hidup diantara 2 pilihan, mengambil opsi free will dengan konsekuensi kenyang dihujani pertanyaan 'standar' dan tatapan aneh like we're some kind of weirdo yang sangat nyeleneh, atau hidup tenang dan damai dengan mengikuti 'keinginan' semua orang yag direfleksikan lewat pertanyaan-pertanyaan tersebut, bahagia atau tidak itu kembali ke dalam hati Anda.

Aku sebagai manusia standar juga tidak menyangkal seringkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pemahaman mendalam lewat pengalaman yang melelahkanlah yang pada akhirnya sekarang membuat aku mencoba berubah, karena bukan tidak mungkin pertanyaan-pertanyaan itu tidak mengenakkan dan membosankan didengar oleh orang lain.

After all, terima kasih untuk semua penanya-penanya -ku. Dibalik segala kelelahanku menjawab semua pertanyaan-pertanyaan kalian, aku tahu pasti kalian sungguh sangat perhatian kepadaku :)


(catatan : 2 periode klimaks yang membuatku sangat lelah adalah ketika pertanyaan default 'kuliah dimana' bertubi-tubi ditanyakan disaat aku nganggur 1 tahun, dan 'kerja dimana' bertubi-tubi ditanyakan saat aku freelance seperti sekarang)



Minggu, 25 April 2010

Let's drive, rookie girl!


Aku baru mulai (belajar) menyetir (lagi) kira-kira satu bulan lalu. Kenapa aku katakan lagi? Sebetulnya semenjak kelas 5 SD si Papi dulu pernah nekad memberi aku mobil Jantan besar itu untuk aku coba-coba kendarai. Keren juga ya cilik-cilik dulu bawa Jantan abu-abu besar, walaupun hanya keliling kompleks UI Depok tapi rasanya keren banget!

Journey belajar mobil aku berlanjut sampai dengan SMA, kuliah, bahkan sampai kerja. Karena aku anak paling bontot di rumah, si Papi sepertinya sudah mendelegasikan tugas mengajari aku bawa mobil ke kedua kakakku. Akhirnya jadilah setiap kali aku sering merengek-rengek minta diajari belajar mobil sama kedua kakakku. Seringnya dulu aku belajar naik mobil Jantan versi baru (bukan si abu-abu yang aku ajak naik keliling di kompleks UI Depok). Mobil besar manual segede gambreng, kaca spionnya sudah tenggleng karena patah, motor kaca jendelanya sudah empot-empotan jadi kalau mau menutup kaca jendela musti ditarik pake tangan keatas (ini kaca yang supir saja loh, kaca penumpang di tengah sudah tidak bisa dibuka sama sekali), untuk injak gas dalam banget. Bak GI Jane aku sering kali belajar mobil pakai mobil sangar ini.

Ini dia si Jantan sangar, plus ponakanku yang berpose sangar juga :p

Walhasil, karena kondisi mobil manual rada ribet, si Jantan yang rada bohay dan berat, ditambah pengajarku yang senewenan suka teriak-teriak dan karakter aku yang panikan, akhirnya punah sudah itu keinginan yang tinggi untuk bawa mobil. Akhirnya terseok-seoklah aku jadi putri raja yang selalu disupirin kemana-mana.

Setiap kali ada orang menanyakan kenapa sih tidak bawa mobil, sebenernya aku rada bete, karena bisa dibilang aku belajar sudah cukup lama, tapi kok tidak bisa-bisa. Huh sebel! Awas nanti lihat saja kalau aku sudah bisa drifting....ceile!

Nah, selepas dari tempat kerja terakhir, aku sekarang jadi freelancer. Dengan alasan 'mobilitas' tinggi (masuk akal kan, karena sudah tidak bolak balik kantor saja setiap harinya, tapi lebih variatif), dan dengan ditambah muka rayu-rayu kepengen (mirip-mirip muka menjelang malam kalau lagi kronis...hoho..), aku rayulah si hubby untuk kembali menumbuhkan semangat menyetirku! Yak!!! Semangat!

Walhasil, berhasil-lah si hubby kubuat stress sepanjang minggu (ini mengutip kata-kata dia 'Senin-Jumat aku stress karena kerjaan, Sabtu-Minggu aku stress karena disupirin istriku)' hahahaha... Ternyata, hubby ku jauh lebih sabar dibanding kakakku yang senewenan itu n naik mobil matic jauuuuuuuh lebih enak. Tidak usah pusing mikirin 'Kalau muter gigi berapa ya?', 'Tanjakan kemiringan 30 derajat gigi berapa ya?', 'Aduh lampu merah! Ini harus masuk gigi1 lagi nanti, mati mesin ga ya?' dan banyak kepanikan dan kerepotan lain.

Minusnya setelah beberapa tahun tidak bawa mobil, kondisi lalu lintas Jakarta sungguh sangat tidak bersahabat! hau hau hau... :( kasihanilah para pengendara-pengendara rookie sepertiku. Setelah kurang lebih 1 bulan malang melintang di Jakarta dan sekitarnya, ini kesimpulanku sebagai pengendara rookie :

ou ou ou...Jakarta-ku yang macet!


1. Pengendara di Jakarta semuanya tidak sabaran.
Aku bingung, kadang-kadang siapa yang salah, jelas-jelasan tulisan di papan (tol terutama)dibilang kecepatan maksimal 80 km/jam. Aku sudah menyetir dengan kecepatan 80km/jam, tetap saja itu di belakang din din din din melulu.

2. Motor dan bis adalah musuh terutama pengendara rookie.
Ohhh seringkali di jalanan aku berdoa, 'seandainya saja semua pengendara tertib menyusuri marka dan tidak kepo mengganggu-ganggu pengendara, pasti hidupku akan lebih tenang. Perilaku aneh-aneh mereka akan aku jelaskan di poin berikutnya.

3. Perilaku aneh motor :

ini baru 4 isinya, biasanya 5 orang!

- tiba-tiba nongol mepet di sebelah kiri/kanan kita. Sumpeh ini bikin aku kaget banget, apalagi kalau si hubby tiba-tiba teriak 'awas!'
- ngeng ngong jalan saja di tengah-tengah dengan santai dan bikin kagok (paling bikin senewen lagi kalau muatannya ajubile banyaknya, maksimal yang pernah saya lihat 5 orang!! 1 Bapak, 1 Ibu, anak kecil 2, 1 anak masih bayi)
- entah firasat mereka memang tajam atau merasa raja jalanan. Karena mereka tidak pernah pakai spion kalau belok. Tiba-tiba miring-miring saja... wadawww
- suka sekali nyelip-nyelip. Ck ck ck...kalau itu kolong mobil bisa dimasukin sama dia, dimasukkin juga kali yah?
- lampu-lampunya suka diganti bikin pusing! Baru saja kejadian kemarin, astaga naga itu lampu rem-nya diganti warna kuning. Aku sampai kaget ternyata dia nge-rem toh?

4. Perilaku aneh bis :
- jedah waktu antara memberikan sen dan belok = 0 detik! Aku rasa kebanyakan pengendara bis itu agak impulsif yah?
- kalau mau pindah jalur bisa 3 jalur sekaligus! Ini kejadian nyata yang sering aku lihat di depan sampoerna strategic square sudirman. Buset, dari jalur paling kiri si bis mau masuk ke jalur cepat. Alhasil badannya yang buesar itu melintang di sepanjang jalur lambat sudirman. Keren deh pokoknya!

Begini perilaku bis yang suka malang melintang!

- mungkin karena badannya besar, bis itu suka pede jaya dan cuek saja jika tiba-tiba badannya miring kesana kemari. Aku paling parno kalau sedang di tol, jika sedang ada di kanan bis, kepinginnya cepat kebut saja supaya bisa melewati bis. Karena tiba-tiba dia suka miringgggg ke kanan....tinggal si hubby yang panik 'eh kiri kiri....!' Laa situ enak badannya besar kalau kesambet cuma lecet, lah aku...:(
- kalau meminjam istilah si hubby, bis kota itu banyak yang lebih cocok disebut 'tempat sampah jalan'. Karena bentuknya yang sudah sungguh sangat tidak jelas, buluk, karatan, besar, bobrok, dan suka mengeluarkan 'gas beracun' yang hitammmmm....

5. Kecepatan menginjak gas atau nginjak kopling n gas lebih lambat daripada menekan klakson waktu lampu merah. Kadang suka stress sendiri, ya ampun baruuuu aja yah itu hijau 0,0000000999 detik lalu, itu klakson sudah ramenyaaaa....

6. Solidaritas pejalan kaki sangat tinggi, sampai-sampai mereka merasa memiliki kekuatan tak tertandingi untuk melawan mobil melintas di tengah jalan.

Coba dihitung berapa banyak pejalan kaki yang berjejer!

Maksudnya, seringkali kalau di jalan raya itu di pinggir jalan banyak pejalan kaki yang berjalan berjejer, entah berdua atau bertiga sampai memakan badan jalan. Mungkin bagi mereka chit chat di tengah jalan itu lebih penting untuk membina solidaritas daripada keselamatan bersama.


7. Bekasi adalah salah satu kota yang sangat tidak ramah untuk pengendara mobil (pemula). Panasnya melebihi Jakarta, semrawutnya juga tidak tahan! Di kota ini ada angkot, bis, motor yang buanyaaaakkkkk sekali, becak (yang suka melawan arah!), gerobak jualan (yang juga melawan arah dan tiba-tiba suka menyebrang di tengah jalan), truk, pejalan kaki yang tiba-tiba menyebrang dan yang solidaritasnya tinggi), tukang jualan yang suka nempel-nempel mobil, tukang minta-minta, sepeda, dan bentuk-bentuk bergerak lain yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku sudah 3 kali pp Jakarta-Bekasi. Di kunjungan pertama aku sudah diberi oleh-oleh sundulan motor waktu lampu merah :(

8. Menyetir di Jakarta = Pasti bisa menyetir di negara lain; Menyetir di negara lain = belum tentu bisa menyetir di Jakarta. Dua orang sample teman saya, satu orang di Australia. Dulu dia tinggal di Jakarta dan ketika di Jakarta tidak bisa menyetir. Setelah pindah ke Australia dia belajar menyetir dan sekarang sudah bisa. Terakhir dia mengakui kalau ke Jakarta dia tidak mau bawa mobil, takut! Satu orang lagi tinggal di Amerika. Dulu dari SMA dia sudah bisa menyetir (soalnya aku suka nebeng). Setelah kuliah dia pindah ke Amerika. Ketika akan balik ke Jakarta, Mamanya berpesan, 'nanti loe balik Jakarta jangan nyetir ya! Parah nyetir di Jakarta, bisa bunuh orang!!'

9. Jalanan di Jakarta buanyak banget 'komedo'nya. Maksudnya lubang-lubangnya, si hubby berapa kali teriak-teriak, 'lubang!!', tapi dengan kemampuan (sok) menghindar yang pas-pas an, tetap saja itu lubang kelindes. Hehe...

Komedo jalanan yang gede banget!

10. Di Jakarta banyak sekali orang-orang yang berangkat dari teknik menyetir seperti saya (Kids, don't try this at home) : SIM nembak (disaat kemampuan menyetir baru 20% - lolos tanpa tes teknis, tapi lolos dengan tes 'duit sogokan'), dengan kemampuan menyetir pas-pas an, terjun ke jalanan dan bikin kagok pengendara lain.

Berhati-hatilah para pengendara (rookie). Ibarat kita jalan kaki saja seringkali disalip, disenggol, empet-empetan, kesandung, banyak lubang, banyak genangan, banyak godaan, ada yang jalannya cepat, ada yang lelet, apalagi kalau menyetir mobil. Lebih ribet!

Oh help me God, semoga suatu saat nanti aku bisa jago menyetir dengan gape (di Jakarta), setidak-tidaknya seperti suamiku deh, tidak perlu sampai drifting seperti di film-film itu :p.


Jumat, 23 April 2010

Are we trying to teach our children English or what?


ini cara bermain Domikado

Karena kadang-kadang saking kepingin jadi trendsetter seperti Mbak Debby Sahertian, aku suka asal membuat bahasa gaul sendiri. Kalau ketahuan Mbak Debby bisa-bisa aku diketawain kali ya? Atau malah diajakin partner karena terlalu kreatif? *ngarepberat.com.

Salah satu bahasa asal yang suka aku jeplak itu turunan dari kata Gym. Maklum sekarang sedang giat-giatnya ikut Gym lagi nih, berhubung karena faktor U rasanya badan itu gampang kaku-kaku!

Nah dari kata Gym ini, kadang kalau sedang mengajak teman Gym, aku suka bilang,

'Eh, jimi-jimi takabet yuk nanti sore...'
(baca : Eh, Gym yuk nanti sore...)

Lupa awalnya bagaimana tapi yang pasti kata-kata aneh itu melintas di kepalaku saja tiba-tiba. Baru saja kemarin aku sadar sumbernya dari mana.

Itu kan mainan aku waktu aku SD! (kurang lebih 20 tahun lalu oi!).
Judul permainannya 'Domikado', ada yang masih ingatkah?

Jadi cara bermainnya adalah, supaya seru permainan ini diikuti minimal 3 orang, itupun sebenarnya cuma jadi 1 putaran!

Nah semua peserta duduk/berdiri melingkar lalu masing-masing telapak tangan dibuka di samping dimana telapak tangan kiri ditaruh dibawah telapak tangan kanan temannya yang di sebelah kirinya. Telapak tangan kanan ditaruh diatas telapak tangan kiri temannya yang disebelah kanannya. Nah, sambil bait lagu dinyanyikan, telapak tangan kanan menepuk telapak tangan kanan teman sebelah kirinya. Begini ya bait lagunya, tolong diperhatikan baik-baik. Ini sepanjang pengetahuan dan pendengaran aku waktu SD, tapi aku ga dikategorikan budeg loh!

'Domikado mikado eska....eskado...eskado bea beo...cis cis... One, two, three, four, five, si, seven, eight, nine, ten!'

Nah pas di kata 'ten', yang giliran memukul harus berlomba memukul tangan kanan sebelahnya secepat mungkin, sambil sebelahnya berlomba secepat mungkin menghindar. Yang tidak berhasil memukul/menghindar adalah si looser dan dia keluar dari permainan.

Begitu terus sampai akhirnya anggota permainan tinggal dua orang. Lalu setelah sudah dua orang barulah dua orang ini diadu sambil gaya menepuk tangan satu sama lain dengan nyanyian berikut,

'Dam dam jeli dam dam oek oek... Sim sim jeli sim sim oek oek... Jimi jimi takabet takabet is dead...!'


Ketika ngomong 'dead' itu berarti tandanya mereka harus suit untuk menentukan pemenang!

Ternyata dari situ istilah gaul Gym aku berasal yah?

Akhirnya aku baru saja sadar di umur yang sudah 27 tahun ini, dulu hampir setiap hari (seminggu sekali deh...kesannya dulu waktu masih SD main terus ya? :p) aku menyanyikan permainan itu tanpa tahu artinya sampai dengan hari ini! Kira-kira bahasa apa ya? Minimal sih lumayan keren, kita diajarkan menghitung dari one sampai ten. Oh iya dan sama satu lagi 'is dead'. Hahaha...

Sebenarnya ada lagi 1 permainan, tapi kayaknya yang satu ini dulu agak jarang dimainkan oleh teman-teman aku deh. Tapi aku dulu suka sekali memainkannya dengan temanku, namanya Vira. Ini permainannya untuk berdua sambil tangannya ditepuk-tepuk. Lagunya begini (saya menulis apa adanya juga sesuai yang saya lafalkan dulu) :

'Aladebleksim...a'am debeleksim... Situ my Bonny... my Bonny my... my...my...'

Tapi ada verse-2 nya yang ternyata sungguh sangat meaningful dibanding verse-1! Begini liriknya :

'Pangeran Charles... dan Putri Diana... naik kereta... bunyinya tut...tut...tut...'

Saya jadi berpikir, begitu banyak challenge kita nanti sebagai orang tua. Di satu sisi sebetulnya tidak masalah ketika kita mengajarkan sebuah permainan yang 'meaningless' bagi anak-anak seperti ini. Minimal mereka akan diajarkan bernyanyi atau mengenal melodi dan bersosialisasi lewat permainan dengan teman-temannya.

Namun jika dilihat dari contoh 'hidup' yang terjadi seperti saya, sepertinya ini bisa menjadi 'pembodohan' sederhana. Mengapa? Bayangkan, saya membutuhkan waktu 20 tahun kemudian untuk menjadi kritis dan bertanya 'Apa makna bahasa lagu itu?'. Sebetulnya ada dua kemungkinan lain sih, apakah memang saya yang 'telat mikir' alias telmi :p atau betul saya rada 'budeg' dulu jadi mendengar lirik lagunya seperti itu.

Terlepas dari itu, yang saya rasakan sungguh memang ketika masih kecil dulu banyak sekali hal yang masuk ke kepala saya dan menyerap seperti spons. Contohnya adalah lirik lagu ini, walaupun tidak bermakna tapi tetap melekat di kepala saya. Kita sekarang pasti akan lebih sulit menghafalkan kata-kata yang tidak bermakna dibandingkan yang bermakna.

Jadi, bagaimanapun terimakasih untuk pencipta permainan domikado dan semacamnya karena telah mengajarkan saya dan teman-teman untuk membina persahabatan lewat permainan sederhana itu. Mari untuk selanjutnya kita bisa lebih mendidik anak-anak kita dengan lebih bermakna.